Ketika Harapan Para Ibu Tentang Rokok Mendapatkan Pencerahan

Ketika usia 9 bulan, saya di diagnosa menderita flek pada paru-paru saya. Dari hasil rontgen, Dokter melihat paru-paru saya penuh dengan flek hitam seperti seorang perokok berat. Padahal dengan usia segitu tidak mungkin saya merokok, bukan? 


Tumbuh kembang saya menjadi sangat berbeda dari anak kebanyakan. Masa Balita saya di jogja yang saat itu mengikuti Bapak saya yang sedang menempuh pendidikan di UGM, hanya di iringi dengan pengobatan dan perawatan. Anehnya lagi, setiap Bapak menerima uang beasiswa tiap bulan, saya selalu sakit yang mengharuskan saya ke dokter. Benar-benar Allah Maha Mengatur kapan orang tua saya ada rejeki. 

Hingga saya berusia 5 tahun di Jogja, saya masih sangat lemah. Saya mudah sekali tersandung, terjatuh, bahkan untuk hal yang sangat sepele karena keseimbangan tubuh saya yang kecil mungil itu sangat tidak stabil. Bahkan jika keluar malam saja, saya akan langsung sesak nafas dan tentu saja berakhir di dokter anak lagi ceritanya. Dengan tubuh kecil, mungil, rambut yang sedikit, saya terlihat seperti kurang gizi. Padahal penyebabnya hanyalah kepulan asap-asap rokok itu. 

Ibu saya tentu bukan perokok, tetapi bapak saya perokok, mungkin juga saat ibu saya hamil banyak terpapar asap rokok dari lingkungannya. Ya Bahkan dengan uang Mahasiswa yang pas-pasan Bapak saya masih bisa membeli rokok. Pada saat itu, hingga hari ini, rokok seolah menjadi hal yang 'wajar' di konsumsi oleh seorang lelaki dewasa. 

Waktu berlalu, hingga hari ini. Saya bersyukur Suami dan Adik laki-laki saya bukan perokok, Bapak pun sudah lama berhenti merokok. Saya pun, masih mengalami efek akibat masa kecil dulu yaitu penyakit Asma. Hanya saja, sejak saya bisa berenang, peluang untuk kumat itu menjadi sangat kecil. Bisa di bilang, untuk Saat ini, saya hidup normal dan sehat. 

Apakah semua selesai? Tentu tidak, perokok masih tetap ada hingga hari ini, mungkin hingga esok dan seterusnya. Indonesia masih menduduki peringkat ketiga jumlah kematian akibat rokok setelah China dan India. Bahkan tahun 2017 lalu angka kematian akibat rokok sudah mencapai 217.400 jiwa. Padahal tahun 2007, jumlah kematian akibat rokok adalah 1127 jiwa. Jumlah yang naik sangat signifikan dalam 10 tahun. 

Atas nama ekonomi kerakyatan, rokok yang menyiksa jutaan manusia di dunia masih tetap ada. Bahkan sekarang sudah menyentuh level anak-anak. Bagaimana tidak, rokok sekarang bisa di beli eceran. Dengan uang saku Rp. 5000 saja anak-anak sudah bisa membeli rokok. Belum lagi, jika si anak di beri gratis oleh orang dewasa disekitarnya. Anak akan menjadi dekat dengan orang tersebut karena candu, akhirnya pun mereka jadi dewasa sebelum waktunya akibat pergaulan dengan orang dewasa. 

Seandainya bisa mengulang waktu, tentu saya berharap rokok tidak pernah ada di muka bumi. Mungkin itu juga harapan para Ibu dan orang tua lainnya di seluruh dunia. Tetapi kenyataannnya memang, Allah jadikan rokok sebagai ujian untuk umat manusia. Sekarang tinggal kitanya, bagaimana memutus rantai rokok ini, agar tidak di konsumsi anak-anak. 


Kalau yang dewasa sih, saya bukan tidak perduli, tapi saya rasa mereka sudah cukup pintar untuk memilah mana yang baik dan benar, dan sudah cukup 'mapan' untuk berobat jika sakit. Lagi pula, kondisi wanita yang umumnya tidak punya wewenang menghentikan rokok suaminya, membuat para wanita umumnya pasrah dan 'nrimo' kebiasaan merokok para suami dengan alasan yang penting rumah tangga harmonis. Padahal saya tau, para istri begitu ingin suaminya sehat dan uang belanja bertambah karena berhenti beli rokok. 

Tapi, mungkin tidak banyak yang berhasil, kalaupun ada yang berhasil, biasanya adalah setelah sang suami/anaknya mengalami sakit dulu. Bahkan, bapak saya sendiri, ketika saya kecil sakit begitu, tidak lantas berhenti merokok. Beliau baru berhenti merokok setelah hidayah sampai dan berhenti merokok atas inisiatif beliau sendiri. Sungguh hidayah itu mahal harganya. Dan anugerah kesehatan yang diberikan Allah ke saya tak ternilai harganya, karena tidak semua anak berhasil hidup dengan normal dan sehat seperti saya hingga dewasa. 

Karena itulah, saya sangat-sangat tertarik ketika Program Radio Ruang Publik KBR menggelar talkshow yang di siarkan di 100 radio di berbagai kota di Indonesia dengan tema "Selamatkan Generasi, Perempuan dukung rokok 50 Ribu" judul yang sangat tegas, bukan? Dari temanya saja, sudah sangat mengundang para perempuan untuk bergabung. Talk show yang di adakan dalam beberapa serial ini di meriahkan dengan Hastag #Rokok50Ribu dan #RokokHarusMahal


Hastag ini sangat ramai beredar di timeline saya sebulan terakhir, dari situlah saya menyimpulkan begitu banyak perempuang yang dukung rokok harus mahal, begitu banyak perempuan yang ingin menyelamatkan generasi penerusnya. 

Dalam talkshow, kita tidak membahas bahaya rokok dan bagaimana berkampanye menghentikan para suami merokok. Melainkan membahas bagaimana memutus rantai rokok di kalangan anak-anak.

Dalam Talkshow di isi oleh 2 Narasumber kompeten yaitu
  1. Ibu Magdalena Sitorus, perwakilan dari Jaringan Perempuan Peduli Pengendalian Tembakau (JP3T)
  2. Ligwina Hananto, perwakilan dari Financial Trainer
=======

Dalam talkshow tersebut, Ibu Magdalena menjelaskan bagaimana posisi perempuan dalam rumah tangga. Dua hal yang sangat beliau tekankan. Pertama adalah posisi wanita sebagai pengendali keuangan dalam rumah tangga. Perempuan mengatur semua pengeluaran rumah tangga namun tidak bisa mengatur rokok yang dihisap suami. Kedua adalah, posisi wanita dalam mengasuh anak. Dimana dia sendiri dan anak menjadi perokok pasif dan terpapar asap rokok. Tentu tugasnya sebagai penjaga kesehatan anak-anaknya akan menjadi sangat berat kalau terus disupply racun dalam tubuhnya. 

Karena itulah, talkshow tentang #RokokharusMahal ini mengambil momentum saat Ramadhan, karena di harapkan ketika Puasa Ramadhan menjadi salah satu cara efektif menghentikan kebiasaan merokok terutama pada anak. Dalam talkshow juga kita diajak untuk menanda tangani petisi untuk mendukung program ini. Silakan yang ingin berpartisipasi ya.

=======

Ketika talkshow dilanjutkan dengan pembicaraan bersama Ibu Ligwina Hananto yang merupakan seorang Financial Trainer dan membahas dari segi ekonomi, pembahasan jadi semakin menarik. 

Selama ini, para Pria perokok tentu saja sudah begitu sering di singgung soal uang yang di gunakan untuk membeli rokok. Namun sepertinya tidak banyak berpengaruh. Faktanya saat ini dengan uang jajan anak 1000-5000 Rupiah saja mereka masih bisa membeli rokok batangan. Miris sekali, bukan? Apalagi di tambah fakta lain, bahwa usia anak yang merokok makin hari justru makin dini. Karena itu, agenda #RokokHarusMahal dan #Rokok50Ribu ini di harapkan membuat anak tidak terjangkau atau setidaknya kesulitan membeli. 

Untuk para Suami sendiri, dengan naiknya harga rokok di harapkan agar Budget untuk membeli rokok akan bersaing dengan kebutuhan-kebutuhan utama dirumah, sehingga bisa memikirkan, kebutuhan mana yang di utamakan dan di tinggalkan. Bukannya akan terlihat konyol kalau ada budget untuk rokok namun tabungan anak yang untuk masuk sekolah justru kosong. Jadi dengan harga rokok 50 Ribu, justru sebenarnya sangat bermanfaat untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. 

Ligwina menyangkal bahwa dengan rokok 50 Ribu akan membuat rumah tangga tidak harmonis. Beliau mengatakan bahwa rokok, bisa jadi hanya maniffestasi dari masalah yang lebih besar dalam rumah tangga. Kalau asalnya memang harmonis, maka tanpa rokok pun mereka akan tetap harmonis. Karena itulah, beliau optimis #Rokok50Ribu justru akan membuat rumah tangga semakin harmonis karena berbagai kebutuhan rumah tangga bisa terpenuhi hasil dari pengalihan dana membeli rokok. 

=======


Nah, itu yang diharapkan para wanita yang mengisi petisi #RokokHarusMahal dan #Rokok50Ribu. Kita semua berharap tidak ada lagi anak-anak seperti saya waktu kecil dulu. Tidak ada lagi anak yang menggunakan uang jajan hanya untuk rokok. Dan tentu saja, sebagai wanita kita mengharapkan seluruh keluarga di rumah tidak terpapar asap rokok, baik akibat rokok aktif maupun pasif. 


Harapan saya untuk menghapuskan rokok dari muka bumi memang masih terdengar sulit. Tapi dengan adanya gerakan ini, saya merasa ada secercah harapan yang lebih baik untuk anak saya dan semua generasi muda untuk kelanjutan hidup yang lebih baik daripada generasi saat ini, yang pastinya ini adalah harapan Para Ibu di seluruh dunia juga. Yuk, ikut dukung juga, agar harapan ini menjadi kenyataan. 



8 comments

  1. Suamiku juga masih belum bisa move on dari rokok, padahal rokok merusak kesehatannya banget.

    ReplyDelete
  2. Harusnya harga rokok emang mahal biar yang mau beli jengah gitu.

    ReplyDelete
  3. Argumen yang cukup nyebelin dari orang yang merokok saat dibahas soal duit adalah, "kenapa kamu tidak beli mobil aja kalo kamu ga merokok?". Sampai sekarang, masih banyak orang yang condong denial saat disuruh untuk tidak merokok, pas ditaruh rokok membahayakan tubuh dengan segala jenis kerusakan pada tubuh di bungkus rokoknya. Eh, bukannya berkurang, masih ada aja yang ngerokok.

    Ya, pendekatan setiap orang dalam menghindari rokok memang berbeda, ada yang bisa didekatkan dengan bahaya rokok dari segi kesehatan, ada juga yang dilihat dari segi finansial, tidak sedikit juga yang melihatnya dari sisi kesuburan.

    Temanku pernah bilang kalo "merokok itu bikin kamu mandul selamanya", dan ujung-ujungnya dia sudah ga ngerokok lagi, lho.

    ReplyDelete
  4. Krn aku mantan perokok, buatku sih, rokok 50rb sbnrnya msh murah. Apalagi kalo udh candu berat. Tp okelah, dicoba aja dulu dengan hrg segitu.

    Aku sendiri berhenti merokok itu karena shocked pas liat foto wanita seumur ku, tp mukanya kayak nenek2 banget. Itu krn rokok. Kulitnya jd cepet keriput, kering, dan tua. Krn aku sejak dul it slalu merhatiin kesehatan kulit wajah, melihat yg begitu jelas bikin kaget
    . Ga mau dong nanti mukaku seperti itu. Makanya aku bisa stop total ampe skr. Walopun ga mudah juga awalny

    ReplyDelete
  5. Bagaimana suatu rokok yang dikepulkan oleh ayahnya mempengaruhi anaknya: Asap rokok sebetulnya mengandung nikotin, dan nikotin ini mencemari udara di sekitar rumah. Udara yang mengandung nikotin ini menempel di rambut sang ayah, di baju sang ayah, di sekujur kulit tangan sang ayah. Ayah yang merokok di luar ruangan, setelah selesai merokok akan masuk ke rumah, lalu memeluk anaknya. Saat itulah udara bernikotin yang menempel di sekujur tubuh sang ayah (dan termasuk dari nafas sang ayah, tentu) terhirup oleh anaknya, lalu masuk ke paru sang anak.

    ReplyDelete
  6. Rokok.. Oh rokok...

    Yang bikin saya kurang gregret mudik gegara di keluarga bapak saya perokok, gak mau saya kalau anak2 terpapar asapnya.
    Keluarga kami lainnya juga perokok berat dan betenya gak punya rasa sungkan, merokok aja meski dekat bayi.

    Semoga perlahan rokok musnah dari Indonesia.
    Di mulai dari harus mahal hingga akhirnya hanya kalangan tertentu yang bisa nikmati

    ReplyDelete
  7. Paling jengkel kalau lihat ada orang yang ngerokok padahal di sekitarnya ada anak kecil dan ibu hamil

    ReplyDelete
  8. Abah Ulun perokok berat mulai dari muda sampai kira2 4 tahun yang lalu baru berhenti total merokok, tapi kayaknya itu terlambat karena beberapa organ pernafasan sudah mulai rusak, cobaan buat keluarga karena sudah pasti selama 4 tahun belakangan harus masuk rumah sakit, kd cuma tiap tahun, malah rancak hampir tiap Minggu masuk UGD bahkan dirawat.. lelah hati lelah fisik yang menjaga akibat keegoisan yg dulunya seorang perokok berat..seseorang yg harusnya jadi penjaga mama, melindungi mama, merawat mama saat sakit malah keadaannya berbalik, kasian mama..

    ReplyDelete

Terimakasih sudah meluangkan waktu membaca tulisan saya, Semoga bermanfaat. Ambil baiknya tinggalkan buruknya. Silakan tinggalkan komen yang santun ya tapi jangan tinggalin link hidup dan jangan berkomentar anonim ya. Apalah arti tulisan saya tanpa kehadiran kalian..